Apa yang lebih menakutkan dari hantu? Barangkali mungkin aib yang dibungkam? Atau lebih tepatnya, tubuh yang disembunyikan. Ryūnosuke Akutagawa tidak menulis untuk membuat kita takut secara langsung. Ia menulis untuk menanamkan kegelisahan yang akan tumbuh pelan di kepala kita. Dan dalam cerpen “Kaki Kuda,” ia kembali mengaduk ruang antara yang wajar dan ganjil, yang indah dan menjijikkan, yang manusiawi tapi terasa begitu tidak nyaman hingga kita sendiri tak yakin di sisi mana kita berpijak.
Ada pula seorang pendeta yang memiliki hidung sangat besar,
menggantung sampai ke bawah dagu. Diceritakan dengan penuh humor, sang pendeta
berusaha mengecilkan hidungnya dalam cerpen "Hidung"; yang
dipuji-puji oleh Natsume Soseki.
Selain itu, ada "Benang Laba-laba", "Kaki
Kuda", "Bubur Ubi", dan "Dalam Semak Belukar", enam
karya pilihan Akutagawa Ryunosuke, yang dinyanyikan Bapak Cerita Pendek.
Cerpen-cerpen dalam Kaki Kuda tidak dibungkus dengan gaya modern yang manis atau alur yang rapi. Justru, kekuatannya ada pada suasana yang keruh, narasi yang menggantung, dan penutup cerita yang seringkali tak memberimu jawaban melainkan kecemasan. Kecemasan karena kamu sadar, kamu mungkin tak lebih waras dari tokoh-tokohnya.
Bahasa terjemahan dari Penerbit Mai tetap mempertahankan
kesan klasiknya. Tidak mencoba memodernisasi Akutagawa, tapi justru memeluk
keasingannya. Ini membuat pembacaan jadi seperti mendengar suara dari masa lalu
yang jauh, tapi masih menggema relevansinya hingga hari ini.
Jika kamu menyukai sastra yang mendorongmu berpikir ulang
tentang moralitas, iman, kegilaan, dan absurditas hidup, maka Kaki Kuda
akan menjadi pertemuan penting. Ini bukan buku untuk mencari hiburan. Ini
adalah buku yang menyelam ke dalam dirimu, menggali, dan mungkin menemukan
sesuatu yang tidak ingin kamu lihat.
Profil Penulis:
Komentar
Posting Komentar