Bagaimana jika wajahmu menjadi kutukan? Dan keberadaanmu, dianggap bencana? Ada rasa asing yang merayap pelan saat kamu membuka halaman pertama Izana. Bukan rasa takut biasa, tapi semacam kegelisahan batin — seperti berdiri terlalu dekat dengan rahasia orang lain, atau mengintip kotak Pandora yang seharusnya tidak kamu sentuh. Ini bukan kisah horor yang penuh darah atau jeritan. Ini adalah ketakutan yang dibangun dari sunyi, dari tatapan yang menghakimi, dari kesendirian yang menua di tempat gelap.
Yang membuat Izana berbeda adalah bagaimana Matsuura membingkai kisah horor ini bukan dari sisi "monster", tapi dari sisi "manusia yang dianggap monster". Matsuura menggunakan simbolisme yang kuat. Kotak tempat Izana tinggal bukan hanya ruang fisik, tapi metafora bagi tubuh, pikiran, dan masyarakat yang menekan seseorang hingga ia kehilangan bentuk aslinya. Dan ketika kotak itu terbuka, kita dipaksa untuk melihat dampak dari penolakan, kebencian yang diwariskan, dan bagaimana kekejaman bisa dibungkus dalam nama "normalitas".
Mungkin dalam arti lain, dikurung dan tidak mengerti apa-apa bisa disebut juga sebagai kebahagiaan.
Buku ini sangat cocok untuk pembaca yang menyukai horor
psikologis dengan lapisan filosofi dan tragedi manusia. Dan untuk kamu yang
tertarik dengan isu seperti body shaming, stigma sosial, atau rasa terasing
dalam identitas diri, maka Izana bukan hanya bacaan—ia bisa jadi cermin
yang pahit, tapi penting.
Novel Izana bukanlah sekadar novel biasa. Ia adalah
pelajaran brutal tentang bagaimana masyarakat bisa menciptakan monster dari
manusia biasa. Tentang bagaimana wajah bisa jadi kutukan, dan cinta yang
diinginkan berubah jadi luka yang tak pernah sembuh.
Jika kamu siap membuka kotaknya, bersiaplah. Izana sedang
menunggu. Dan ia ingin kamu tahu: bahwa terkadang, siapa yang kita anggap
"mengganggu", justru hanyalah hasil dari apa yang pernah kita abaikan
terlalu lama.
Komentar
Posting Komentar