Apa rasanya jika mulutmu tak bisa mengikuti hatimu? Jika setiap kalimat yang ingin kamu ucapkan, tersangkut di tenggorokan seperti duri yang tak pernah hilang? I Can’t Talk So Smoothly adalah kisah tentang mereka yang tidak lancar bicara, tapi punya dunia dalam kepala yang tak kalah megah. Tentang seseorang yang tak bisa mengucap “terima kasih” tanpa cemas, tapi menyimpan rasa sayang yang lebih dalam dari apa pun yang pernah terucap.
"Kalian yang merasa tidak pandai bicara juga bisa
bergabung dengan kami! Kami akan mengajarkan cara melafalkan kata secara benar!
Dengan banyak latihan, kalian pasti bisa bicara dengan baik dan jelas!"
Tapi.. rasanya tidak
mungkin semulus itu kan?
Naoya Shiino tidak menulis cerita ini untuk membuat pembaca
merasa kasihan. Ia menulis dengan kelembutan yang jujur—tentang kegugupan, rasa
malu, kecemasan sosial, dan perasaan terkurung dalam tubuh yang tidak bisa
mengomunikasikan isi hati. Fujishiro bukan hanya mewakili orang dengan gagap,
tapi siapa pun yang pernah merasa tidak bisa menjadi “versi normal” dari
dirinya sendiri.
Yang membuat novel ini sangat menyentuh adalah betapa
otentiknya suara Fujishiro. Kita merasakan frustrasinya, perjuangannya
menaklukkan setiap huruf, dan terutama ketakutannya untuk menjadi bahan
tertawaan. Tapi dalam keheningan dan jeda itu, kita juga belajar: komunikasi
bukan soal kelancaran lidah, tapi keberanian hati.
Shiino menulis dengan irama yang tenang, tak berusaha
dramatis. Tapi justru dalam kesederhanaan narasinya, kita diajak memahami bahwa
bicara bukan sekadar suara. Kadang, satu senyuman atau kehadiran diam lebih
berarti daripada sejuta kata yang terucap lancar.
I Can’t Talk So Smoothly adalah novel yang wajib
dibaca untuk siapa pun yang pernah merasa "berbeda" Ini adalah novel
tentang keberanian untuk tampil, meski suaramu bergetar. Tentang bagaimana
cinta tidak selalu hadir dalam kalimat manis namun kadang hadir dalam diam,
dalam keraguan, dan dalam usaha kecil untuk mencoba lagi dan lagi.
Komentar
Posting Komentar